Sabtu, 13 Juni 2015

Penegakan Hukum Kejahatan Kekerasan dalam Rumah Tangga

Selama hampir empat tahun terakhir ini Indonesia telah memberlakukan Undang-Undang No. 23 tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga atau yang dikenal dengan nama UU Penghapusan KDRT (disahkan 22 September 2004). UU ini melarang tindak KDRT terhadap orang dalam lingkup rumah tangganya dengan cara kekerasan fisik, psikis, seksual atau penelantaran dalam rumah tangga. Orang-orang dalam lingkup rumah tangga yang dimaksud adalah suami, istri, anak, serta orang-orang yang mempunyai hubungan keluarga karena hubungan darah, perkawinan, persusuan, pengasuhan, perwalian, menetap dalam rumah tangga serta orang yang bekerja membantu dan menetap dalam rumah tangga tersebut.

Domestic violence atau KDRT [Kekerasan Dalam Rumah Tangga] juga dikenal sebagai tindakan pemukulan terhadap istri, penyiksaan terhadap istri, penyiksaan terhadap pasangan, kekerasan dalam perkawinan atau kekerasan dalam keluarga. Menurut Laporan Bank Dunia tahun 1994, bentuk kekerasan terhadap perempuan yang terbanyak kejadiannya adalah penyiksaan terhadap istri atau tepatnya penyiksaan terhadap perempuan dalam relasi hubungan intim yang mengarah pada sistimatika kekuasaan dan kontrol, dimana penyiksa berupaya untuk menerapkannya terhadap istrinya atau pasangan intimnya melalui penyiksaan secara fisik, emosi, sosial, seksual dan ekonomi. Disebutkan pula bahwa seorang perempuan dalam situasi mengalami kekerasan dalam rumah tangganya, dapat saja disiksa oleh suaminya, mantan suami, pacarnya, mantan pacarnya, pasangan hidupnya, mantan pasangan atau seseorang dengan siapa dia mempunyai seorang anak. Dan perlu diketahui bahwa tidak semua bentuk-bentuk kekerasan dalam relasi hubungan intim berlangsung antara seorang penyiksa laki-laki terhadap seorang perempuan (korban), penyiksaan terjadi pula diantara pasangan homoseksual (lesbian dan gay), meskipun mayoritas kasus domestic violence dilakukan oleh laki-laki terhadap perempuan.

Deklarasi Penghapusan Segala Bentuk Kekerasan Terhadap Perempuan[1] (PBB, 1993) membagi ruang lingkup terjadinya Kekerasan terhadap Perempuan atas 3 lingkup, yaitu di keluarga atau domestic, di masyarakat atau public domain serta dilakukan oleh negara atau state. Pembagian ruang lingkup ini yang kemudian menguak kejahatan yang selama ini tersembunyi dan ter-'lindungi' dari intervensi luar untuk membantu korban dari berbagai bentuk kekerasan dalam keluarga yang terakhir ini dikenal dengan sebutan domestic violence atau kekerasan dalam rumah tangga.

Tercatat sejumlah negara telah lebih dahulu memberlakukan Undang-Undang mengenai domestic violence ini diantaranya Malaysia memberlakukan Akta Keganasan Rumah Tangga (1994), Selandia Baru, Australia, Jepang, Karibia, Meksiko dan beberapa negara bagian di Amerika Serikat. Di Malaysia, tindak penderaan [penganiayaan] fisik terhadap perempuan cukup tinggi jumlahnya, penderaan tersebut dilakukan oleh suami atau teman lelaki korban. Di tahun 1989 diperkirakan sebanyak 1.800.000 (36%) perempuan Malaysia yang berumur diatas 15 tahun telah pengalami pemukulan secara fisik oleh suami atau teman lelakinya.[2]

Bagaimana tindak KDRT ini di Indonesia? Sejauhmana penegakan hukum terhadap UU Penghapusan KDRT diterapkan di negara kita? Tulisan berikut ini akan membahas topik tersebut diatas.


Fakta KDRT di Indonesia
Hingga saat ini Indonesia belum mempunyai statistik nasional untuk tindak KDRT.  Pencatatan data kasus KDRT dapat ditelusuri dari sejumlah institusi yang layanannya terkait sebagaimana diatur dalam UU Penghapusan KDRT dan Peraturan Pemerintah No. 4 tahun 2006 tentang Penyelenggaraan dan Kerjasama Pemulihan Korban kekerasan Dalam Rumah Tangga. Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan atau disebut Komnas Perempuan, mencatat bahwa di tahun 2006 sebanyak 22,512 kasus kekerasan terhadap perempuan dilayani oleh 258 lembaga di 32 propinsi di Indonesia 74% diantaranya kasus KDRT dan terbanyak dilayani di Jakarta (7.020 kasus) dan Jawa tengah (4.878 kasus)[3]. Lembaga-lembaga tersebut termasuk RPK [Ruang Pelayanan Khusus] atau Unit Perlindungan Perempuan dan Anak di kepolisian, Pusat Krisis Terpadu & Pusat Pelayanan Terpadu [PKT & PPT] di Rumah Sakit atau Layanan Kesehatan, Women’s Crisis Centre (WCC) dan Lembaga Bantuan Hukum (LBH) yang menyediakan layanan pendampingan bagi Korban serta Kejaksaan, Pengadilan Negeri dan Pengadilan Agama.

Data tahun 2007 Mitra Perempuan WCC mencatat 87% dari perempuan korban kekerasan yang mengakses layanannya mengalami KDRT, dimana pelaku kekerasan terbanyak adalah suami dan mantan suaminya (82,75%). Fakta tersbut juga menunjukkan 9 dari 10 perempuan korban kekerasan yang diampingi WCC mengalami gangguan kesehatan jiwa, 12 orang pernah mencoba bunuh diri; dan 13,12% dari mereka menderita gangguan kesehatan reproduksinya.
Dampak tindak perkosaan dan kekerasan seksual lainnya terhadap kesehatan perempuan yang mengalami kekerasan sangat memprihatinkan karena berdampak pada kesehatan perempuan secara menyeluruh, karena kekerasan seksual selalu disertai dengan kekerasan fisik dan psikis.

Salah satu dampak yang menimbulkan masalah serius adalah dampak secara khusus pada kesehatan reproduksi perempuan, di samping gangguan atau kesakitan fisik, gangguan kesehatan mental bahkan potensial terjadi kematian atau korban bunuh diri. Gangguan kesehatan reproduksi yang dialami perempuan yang mengalami perkosaan diantaranya Infeksi Saluran Reproduksi, Infeksi Menular Seksual (IMS), termasuk infeksi HIV dan AIDS, kehamilan yang tidak dikehendaki, abortus spontan, pemaksaan abortus, Berat Bayi Lahir Rendah (BBLR), kecacatan pada bayi dan kerusakan organ genital atau reproduksi.

Memaksakan dilanjukannya kehamilan yang tidak diinginkan oleh Korban Perkosaan akan meningkatkan resiko kehamilan perempuan. Tekanan psikis dan trauma yang dialami oleh perempuan hamil tersebut akan membayangi kehidupannya.

Penegakan Hukum Kasus KDRT
Terdapat beberapa perlindungan hukum yang telah diatur dalam UU Penghapusan KDRT ini. Di samping sanksi ancaman hukuman pidana penjara dan denda yang dapat diputuskan oleh Hakim, juga diatur pidana tambahan yang dapat dijatuhkan oleh Hakim yang mengadili perkara KDRT ini, serta penetapan perlindungan sementara yang dapat ditetapkan oleh Pengadilan sejak sebelum persidangan dimulai.

Penerapan Ancaman Pidana Penjara dan Denda

Dari hasil pemantauan terhadap kasus-kasus KDRT di Jakarta, Bogor Tangerang, Depok dan Bekasi, penegakan hukumnya selain menggunakan UU No. 23 tahun 2004 tentang Penghapusan KDRT juga menggunakan KUHP dan UU No. 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Tercatat sejumlah sanksi pidana penjara antara 6 bulan hingga 2 tahun 6 bulan. yang telah diputuskan oleh Pengadilan Negeri dengan menggunakan pasal-pasal UU No. 23 tahun 2004 diantaranya pasal 49 jo pasal 9 dan pasal 279 KUHP untuk tindak penelantaran dan suami menikah lagi tanpa ijin istri; pasal 44 untuk tindak kekerasan fisik; pasal 45 untuk tindak kekerasan psikis berupa pengancaman. Sedangkan putusan Pengadilan dengan sanksi pidana penjara yang lebih tinggi hingga 6 tahun diputuskan terhadap sejumlah kasus dalam relasi KDRT, yang didakwa dan dituntut dengan menggunakan pasal-pasal KUHP (pasal 351, 352, 285, 286 jo 287, 289 & 335 untuk kasus penganiayaan anak dan perkosaan anak); pasal 81 & 82 UU No. 23 tahun 2002 dan pasal 287 & 288 KUHP untuk kasus perkosaan anak. Belum ditemukan tuntutan yang menggunakan ancaman pidana penjara atau denda maksimal sebagaimana yang diatur dalam UU Penghapusan KDRT ini.

Penerapan Pidana Tambahan

Hingga kini belum ada putusan Pengadilan yang menjatuhkan hukuman pidana tambahan terhadap pelaku KDRT sebagaimana yang diatur oleh UU No. 23 tahun 2004. Pasal 50 UU tersebut mengatur:

“Selain pidana sebagaimana dimaksud dalam bab ini, Hakim dapat menjatuhkan pidana tambahan berupa:

a. pembatasan gerak pelaku baik yang bertujuan untuk menjauhkan pelaku dari korban dalam jarak dan waktu tertentu, maupun pembatasan hak-hak tertentu dari pelaku;

b. penetapan pelaku mengikuti program konseling di bawah pengawasan lembaga tertentu.”

Putusan Pengadilan ini diharapkan menjadi suatu bentuk perlindungan hukum bagi hak-hak korban dan merespon kebutuhan untuk mencegah berlanjutnya ancaman tindak KDRT. Di samping itu juga ada kebutuhan untuk menyelenggarakan program konseling yang ditujukan untuk membimbing pelaku melakukan koreksi atas perbuatan KDRT yang pernah dilakukannya. Inisiatif untuk merancang program dan menyenggarakan konseling bagi pelaku KDRT sudah dimulai oleh Mitra Perempuan bekerjasama dengan sejumlah konselor laki-laki dari profesi terkait dan petugas BAPAS yang mempersiapkan modul untuk layanan konseling yang dibutuhkan.

Data di WCC mencatat bahwa sejumlah perempuan menempuh upaya hukum secara perdata dengan mencantumkan alasan tindak KDRT dalam gugatan perceraian ke Pengadilan Negeri atau Pengadilan Agama. Hal ini dipilih oleh mereka yang tidak bermaksud mempidanakan suaminya, namun memerlukan upaya hukum agar dapat memutus mata rantai kekerasan yang dilakukan oleh suaminya selama perkawinan[4].

Penerapan Perlindungan Bagi Korban oleh Pengadilan

Salah satu bentuk perlindungan hukum yang juga dirancang khusus untuk merespon kebutuhan korban kejahatan KDRT dan anggota keluarganya adalah penetapan yang berisi perintah perlindungan yang dapat ditetapkan oleh Pengadilan sebagaimana diatur dalam pasal-pasal 28-38 UU No. 23 tahun 2004. Ketua Pengadilan wajib mengeluarkan surat penetapan yang beisi perintah perlindungan tersebut dalam tenggang waktu 7 (tujuh) hari sejak diterimanya surat permohonan kecuali ada alasan yang patut (pasal 28). Permohonan tersebut dapat disampaikan dalam bentuk lisan atau tulisan.

Pasal 29 UU ini mengatur:

”Permohonan untuk memperoleh surat perintah perlindungan dapat diajukan oleh:

a.      korban atau keluarga korban;
b.      teman korban;
c.       kepolisian;
d.      relawan pendamping;atau 
e.       pembimbing rohani.” 

Bentuk perlindungan hukum ini juga belum banyak dikenal dan diterapkan oleh para penegak hukum dan dimanfaatkan oleh masyarakat. Berdasarkan pemantauan LSM hingga tahun 2008 iniPenegakan Hukum Kasus KDRT
Terdapat beberapa perlindungan hukum yang telah diatur dalam UU Penghapusan KDRT ini. Di samping sanksi ancaman hukuman pidana penjara dan denda yang dapat diputuskan oleh Hakim, juga diatur pidana tambahan yang dapat dijatuhkan oleh Hakim yang mengadili perkara KDRT ini, serta penetapan perlindungan sementara yang dapat ditetapkan oleh Pengadilan sejak sebelum persidangan dimulai.

Penerapan Ancaman Pidana Penjara dan Denda

Dari hasil pemantauan terhadap kasus-kasus KDRT di Jakarta, Bogor Tangerang, Depok dan Bekasi, penegakan hukumnya selain menggunakan UU No. 23 tahun 2004 tentang Penghapusan KDRT juga menggunakan KUHP dan UU No. 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Tercatat sejumlah sanksi pidana penjara antara 6 bulan hingga 2 tahun 6 bulan. yang telah diputuskan oleh Pengadilan Negeri dengan menggunakan pasal-pasal UU No. 23 tahun 2004 diantaranya pasal 49 jo pasal 9 dan pasal 279 KUHP untuk tindak penelantaran dan suami menikah lagi tanpa ijin istri; pasal 44 untuk tindak kekerasan fisik; pasal 45 untuk tindak kekerasan psikis berupa pengancaman. Sedangkan putusan Pengadilan dengan sanksi pidana penjara yang lebih tinggi hingga 6 tahun diputuskan terhadap sejumlah kasus dalam relasi KDRT, yang didakwa dan dituntut dengan menggunakan pasal-pasal KUHP (pasal 351, 352, 285, 286 jo 287, 289 & 335 untuk kasus penganiayaan anak dan perkosaan anak); pasal 81 & 82 UU No. 23 tahun 2002 dan pasal 287 & 288 KUHP untuk kasus perkosaan anak. Belum ditemukan tuntutan yang menggunakan ancaman pidana penjara atau denda maksimal sebagaimana yang diatur dalam UU Penghapusan KDRT ini.

Penerapan Pidana Tambahan

Hingga kini belum ada putusan Pengadilan yang menjatuhkan hukuman pidana tambahan terhadap pelaku KDRT sebagaimana yang diatur oleh UU No. 23 tahun 2004. Pasal 50 UU tersebut mengatur:

“Selain pidana sebagaimana dimaksud dalam bab ini, Hakim dapat menjatuhkan pidana tambahan berupa:

a. pembatasan gerak pelaku baik yang bertujuan untuk menjauhkan pelaku dari korban dalam jarak dan waktu tertentu, maupun pembatasan hak-hak tertentu dari pelaku;

b. penetapan pelaku mengikuti program konseling di bawah pengawasan lembaga tertentu.”

Putusan Pengadilan ini diharapkan menjadi suatu bentuk perlindungan hukum bagi hak-hak korban dan merespon kebutuhan untuk mencegah berlanjutnya ancaman tindak KDRT. Di samping itu juga ada kebutuhan untuk menyelenggarakan program konseling yang ditujukan untuk membimbing pelaku melakukan koreksi atas perbuatan KDRT yang pernah dilakukannya. Inisiatif untuk merancang program dan menyenggarakan konseling bagi pelaku KDRT sudah dimulai oleh Mitra Perempuan bekerjasama dengan sejumlah konselor laki-laki dari profesi terkait dan petugas BAPAS yang mempersiapkan modul untuk layanan konseling yang dibutuhkan.

Data di WCC mencatat bahwa sejumlah perempuan menempuh upaya hukum secara perdata dengan mencantumkan alasan tindak KDRT dalam gugatan perceraian ke Pengadilan Negeri atau Pengadilan Agama. Hal ini dipilih oleh mereka yang tidak bermaksud mempidanakan suaminya, namun memerlukan upaya hukum agar dapat memutus mata rantai kekerasan yang dilakukan oleh suaminya selama perkawinan[4].

Penerapan Perlindungan Bagi Korban oleh Pengadilan

Salah satu bentuk perlindungan hukum yang juga dirancang khusus untuk merespon kebutuhan korban kejahatan KDRT dan anggota keluarganya adalah penetapan yang berisi perintah perlindungan yang dapat ditetapkan oleh Pengadilan sebagaimana diatur dalam pasal-pasal 28-38 UU No. 23 tahun 2004. Ketua Pengadilan wajib mengeluarkan surat penetapan yang beisi perintah perlindungan tersebut dalam tenggang waktu 7 (tujuh) hari sejak diterimanya surat permohonan kecuali ada alasan yang patut (pasal 28). Permohonan tersebut dapat disampaikan dalam bentuk lisan atau tulisan.

Pasal 29 UU ini mengatur:

”Permohonan untuk memperoleh surat perintah perlindungan dapat diajukan oleh:

a.      korban atau keluarga korban;
b.      teman korban;
c.       kepolisian;
d.      relawan pendamping;atau 
e.       pembimbing rohani.” 

Bentuk perlindungan hukum ini juga belum banyak dikenal dan diterapkan oleh para penegak hukum dan dimanfaatkan oleh masyarakat. Berdasarkan pemantauan LSM hingga tahun 2008 ini, baru satu Pengadilan Negeri di Jawa Tengah yang telah beberapa kali mengeluarkan surat penetapan perintah perlindungan bagi korban, dan memprosesnya dalam tenggang waktu kurang dari 7 (tujuh) hari.


Kesimpulan dan Saran
Beberapa catatan atas penegakan hukum dan penerapan UU No. 23 tahun 2004 tentang Penghapusan KDRT selama hampir 4 (empat) tahun terakhir, cukup memberikan gambaran bahwa upaya penghapusan KDRT merupakan upaya yang melibatkan banyak pihak dan membutuhkan penegakan hukum yang konsisten.

Sosialisasi mengenai Undang-Undang Penghapusan KDRT dan Peraturan Pemerintahnya serta informasi teknis penerapannya di kalangan penegak hukum dan masyarakat luas merupakan kebutuhan mendesak yang perlu direncanakan dengan baik.

Penegakan hukum untuk menerapkan Undang-Undang Penghapusan KDRT yang sarat dengan perlindungan hak-hak korban dan keluarganya memerlukan komitmen yang kuat dengan penghargaan yang tinggi terhadap nilai keadilan, non diskriminasi dan hak asasi manusia sebagaimana telah dijamin oleh konsititusi.

Selain itu dibutuhkan pula kondisi penegakan hukum yang bebas dan bersih dari korupsi, suap dan kolusi di seluruh jajaran lembaga penegak hukum, layanan sosial dan layanan publik yang terkait., baru satu Pengadilan Negeri di Jawa Tengah yang telah beberapa kali mengeluarkan surat penetapan perintah perlindungan bagi korban, dan memprosesnya dalam tenggang waktu kurang dari 7 (tujuh) hari.
sumber:
http://ditjenpp.kemenkumham.go.id/hukum-pidana/677-penegakan-hukum-kejahatan-kekerasan-dalam-rumah-tangga.html


Hukuman Mati: Antara Barat yang beraHukuman Mati: Antara Barat yang beradab dan Indonesia yang biadab?
Jika ini adalah tentang nyawa manusia, mari kita menggali fakta sebanyak mungkin dan melakukan penelitian lebih lanjut tentang hukuman mati, tulis Soe Tjen Marching.Pertama-tama, izinkan saya menyatakan dengan sejelas-jelasnya: Saya adalah warga Negara Indonesia dan saya menentang hukuman mati. Tapi saya juga muak dengan meledaknya perdebatan ini di luar proporsi.
Saya percaya bahwa hukuman mati adalah sebuah bentuk arogansi dari pihak berwenang: vonis yang tak bisa lagi direvisi jika ada kesalahan dalam proses atau keputusan peradilan. Bahkan di negara-negara dengan sistem hukum yang lebih efektif dan transparan daripada Indonesia, bukan rahasia lagi bahwa orang berduit dapat lolos dari hukuman berat atau bahkan dari hukuman sama sekali, karena mereka mampu menyewa pengacara jagoan.
Jadi, pasti orang kaya dan berpengaruh dapat lebih mudah melepaskan diri dari hukuman mati.
Selain itu, banyak peneliti telah menunjukkan bahwa hukuman mati tidak mencegah kejahatan dibandingkan dengan bentuk hukuman lain. Jadi, mengapa kita harus mengorbankan nyawa manusia?Namun, pemerintah Indonesia yang mendukung hukuman mati untuk pelanggaran narkoba percaya bahwa jenis hukuman ini bisa mengurangi kejahatan. Seperti yang ditekankan oleh Presiden Joko Widodo beberapa kali, 50 orang meninggal setiap hari di Indonesia karena penggunaan narkoba. Hukuman mati diyakini menjadi cara efektif mengurangi dampak ini, dan untuk mencegah kaum muda dari terlibat dalam penggunaan dan penyalahgunaan obat. Dalam hal ini, ada keyakinan bahwa lebih baik 'membunuh' segelintir manusia, demi menyelamatkan lebih banyak nyawa.
Memang, masalah ini tampaknya menjadi perbedaan utama antara mayoritas orang-orang yang menentang dan mendukung hukuman mati.
Anggun C. Sasmi yang menentang hukuman mati, berpendapat bahwa hukuman tidak berdampak apapun dalam mencegah kejahatan. Klaim Anggun ditentang oleh istri seorang mantan pecandu narkoba, yang mengingatkan sang penyanyi berdomisili Perancis ini, akan bahaya narkoba dan pentingnya hukuman mati bagi pengedarnya.
Jadi, argumen mana yang lebih valid: argumen orang-orang yang menentang atau yang pro-hukuman mati? Untuk menentukan ini, kita harus melihat data, menganalisis, dan/atau membandingkan artikel akademis tentang hubungan antara hukuman mati dan efektivitasnya dalam memerangi narkoba. Perbedaan pendapat harus diselesaikan melalui penelitian dan studi lebih lanjut, serta akal sehat.
Namun, dalam masalah hukuman mati ini, seringkali yang terjadi adalah sebaliknya.
Setelah eksekusi delapan napi narkoba pekan lalu, sebuah artikel di The Guardian oleh wartawan Australia Gay Alcorn yang berjudul "Indonesia Membunuh Delapan Orang" berpendapat bahwa Negara Barat terlalu sopan terhadap Indonesia dalam mencegah pelaksanaan hukuman mati. Mengingatkan akan maraknya korupsi di Indonesia, Alcorn menegaskan bahwa setelah Indonesia melaksanakan hukuman mati, Negara Barat tidak harus menahan diri dalam mengkritik pedas atau mengecam apa yang telah terjadi di Indonesia.
Dia menulis: "Kami tidak perlu menjaga perasaan mereka, karena takut dipandang sebagai Barat yang congkak." Ini justru menyiratkan suatu tindakan arogansi atau kenaifan, seolah-olah hanya orang Barat yang menentang hukuman mati ini, sementara banyak aktivis hak asasi manusia di Indonesia telah menentangnya dan berusaha untuk melobi Joko untuk menghapuskan kebijakan yang kontroversial ini.Sebagian dari mereka yang dieksekusi juga tidak bisa dianggap "Barat" (di antara mereka, adalah orang Nigeria, Brasil dan Indonesia). Jadi, jangan "menyelewengkan" masalah menjadi tentang Barat vs Indonesia.
Alcorn menyebutkan dalam artikelnya bahwa tidak hanya Indonesia yang menerapkan hukuman mati. Memang, ada 36 negara yang masih menerapkan hukuman mati, termasuk Amerika Serikat. Namun, artikel Alcorn ini mengabaikan statistik prosentase eksekusi, yang menempatkan Indonesia di bagian paling bawah dari daftar negara-negara yang telah membunuh penjahat mereka. Amerika Serikat (yang seringkali dianggap sebagai super power Negara Barat) menempati bagian puncak.
Saya tidak bermaksud menyepelekan atau menganggap pembunuhan delapan orang di Indonesia ini tidak begitu tragis. Namun, saya menunjukkan ketidaktepatan merujuk masalah seputar Indonesia terhadap Barat, hanya karena eksekusi baru-baru ini. Argumen ini hanya akan mengalihkan perhatian dari topik utama.
Sama konyolnya, ketika mereka yang pro-hukuman mati menuduh Anggun C. Sasmi sebagai tidak nasionalis dan tidak perlu kembali ke Indonesia. Apa hubungan antara nasionalisme dan hukuman mati? Apakah hukuman mati adalah budaya unik dari Indonesia, sehingga orang yang tidak setuju dengan kebijakan ini, dapat dianggap anti-Indonesia?
Kedua belah pihak telah mengklaim bahwa argumen mereka didasarkan pada kemanusiaan: yang pro berpendapat bahwa hukuman mati dapat menyelamatkan lebih banyak nyawa dengan menembak para pengedar narkoba; yang kontra juga bersikeras praktik ini hanya mengorbankan kehidupan manusia dengan sia-sia.
Jadi, jika ini adalah tentang nyawa manusia, mari kita menggali fakta sebanyak mungkin dan melakukan penelitian lebih lanjut. Mari kita mengumpulkan data dan menganalisa sedalam-dalamnya, bukan melemparkan argumen begitu saja, tanpa bukti yang tepat.
*SoeTjen Marching: penulis buku Kubunuh di Sini dan saat ini sedang menyelesaikan buku tentang korban genosida 1965. Versi Bahasa Inggris artikel ini telah dimuat di The Jakarta Globe, 8 Mei 2015.
Sumber: http://www.dw.de/hukuman-mati-antara-barat-yang-beradab-dan-indonesia-yang-biadab/a-18445444
PERKEMBANGAN NORMA, ETIKA SOSIAL SEBAGAI
SUMBER PENEMUAN HUKUM DALAM HUBUNGAN DENGAN HUKUM KESEHATAN


Oleh :
Prof. Dr. Sudikno Mertokusumo, S.H.

            Penemuan hukum dalam hubungannya dengan hukum kesehatan pada dasarnya tidak ada bedanya dengan penemuan hukum dalam bidang-bidang hukum lain seperti hukum perdata, hukum pidana, hukum tata Negara dan sebagainya. Tidak ada yang khusus atau istimewa dengan penemuan hukum pada hukum kesehatan bila dibandingkan dengan penemuan hukum pada bidang-bidang lainnya.
            Di dalam hukum acara, baik pidana maupun perdata dikenal adanya dua tahap, yaitu tahap menemukan peristiwa konkrit dan tahap menemukan hukum yang meliputi menemukan peristiwa hukumnya dan menemukan hukumnya yang akan diterapkan terhadap peristiwa hukum tersebut. Dua tahap itu harus secara sadar dibedakan, tetapi tidak dapat dipisahkan satu sama lain, oleh karena tahap-tahap itu merupakan rangkaian kegiatan yang berurutan bahkan terjalin satu sama lain.
            Peristiwa konkritnya harus diketemukan lebih dahulu. Untuk menemukan peristiwa konkritnya harus dilakukan pembuktian. Jadi penemuan hukum konkrit berlangsung dengan pembuktian.
            Setelah peristiwa konkritnya dibuktikan, yang berarti diketemukan atau dikonstatir peristiwa konkritnya, maka peristiwa konkrit itu harus dikualifikasi atau diterjemahkan menjadi peristiwa hukum agar hukum atau undang-undang dapat diterapkan. Peristiwa konkrit tersebut harus diberi kualifikasi hukumnya atau terjemahan dalam bahasa hukum. Undang-undang atau hukumnya tidak dapat secara langsung diterapkan pada peristiwa konkrit. Peristiwa konkrit atau das Sein harus diterjemahkan dalam bahasa hukum terlebih dahulu, sehingga menjadi peristiwa hukum agar undang-undang atau das Sollen dapat ditetapkan.
            Jadi penemuan hukum bertujuan menemukan peristiwa hukumnya dan hukumnya untuk diterapkan. Mengapa hukumnya harus diketemukan? Oleh karena hukumnya tidak lengkap atau tidak selalu jelas. Tidak ada hukum undang-undang yang lengkap selengkap-lengkapnya atau selalu jelas.
            Penemuan hukum itu mempunyai aturan permainan. Jadi menemukan hukum tidak berarti asal menemukan hukum menurut kehendak.
            Dalam ajaran penemuan hukum dikenal adanya sumber-sumber hukum. Sumber-sumber hukum itu adalah : peraturan perundang-undangan, hukum kebiasaan, yurisprudensi, perjanjian international dan doktrin.
            Sumber-sumber hukum itu mengenal hierarkhi atau kewedaan, artinya kalau kita hendak mencari suatu pengertian hukum misalnya maka haruslah dicari terlebih dahulu dalam peraturan perundang-undangan. Kalau tidak ada barulah kita cari dalam hukum kebiasaan. Kalau dalam hukum kebiasaan tidak ada, maka dicarilah dalam yurisprudensi. Kalau dalam disitupun tidak ada kita cari lebih lanjut dalam perjanjian international dan selanjutnya. Jangan sampai terjadi: dicari dalam peraturan perundang-undangan saja belum sudah dicari dalam doktrin.
            Kecuali itu dalam menemukan hukum yang perlu juga diperhatikan ialah bahwa kalau itu tidak diatur dalam peraturan perundang-undang tidak selalu berarti bahwa hal itu dibolehkan atau dilarang.
            Sumber hukum yang disebutkan diatas adalah sumber formil hukum. Hukum tidak hanya berwujud kaedah saja tetapi dapat berwujud perilaku. Dalam perilaku manusia terdapat hukum. Oleh karena itu perilaku manusia merupakan sumber formil hukum. Perilaku manusia merupakan dapat bersifat pasif, yaitu sikap (iktikad baik) dan bersifat aktif misal membuat perjanjian.
            Etika sosial menurut hemat saya adalah pedoman atau kaedah yang berisi ukuran untuk menilai tindakan manusia di dalam masyarakat.
            Dari apa yang diuraikan di atas maka kaedah (norma) dan perkembangannya serta etika sosial merupakan sumber hukum.
            Apa hubunganya perkembangan norma dan etika sosial sebagai sumber penemuan hukum dengan hukum kesehatan? Telah dikemukakan di atas bahwa pada dasarnya hubungannya sama dengan bidang-bidang hukum lainnya, tidak ada keistimewaannya, tetapi akan dicoba disini mencari hubungannya.
            Masih jelas dalam ingatan kita peristiwa dr. Setianingrum binti Siswoko dari Pati yang diputus bersalah oleh Pengadilan Negeri Pati tanggal 2 September 1981, karena kealpaannya menyebabkan orang lain meninggal dunia dan dijatuhi hukuman percobaan tiga bulan penjara.
            Sekalipun dalam tingkat kasasi Mahkamah Agung membatalkan putusan Pengadilan Negeri Pati tersebut (2-6-84), tetapi putusan Pengadilan Negeri Pati dan Pengadilan Tinggi Semarang yang menguatkannya sudah terlanjur menimbulkan keresahan dilingkungan para dokter. Lebih-lebih lagi karena kemudian terjadi beberapa perkara serupa yang diputus oleh Pengadilan Negeri. Bahkan akhir-akhir ini ada beberapa berita surat kabar yang menggelisahkan tentang dokter yang menyuntik anak yang menimbulkan akibat yang tidak diharapkan.
            Timbulnya keresahan dikalangan para dokter dapat dipahami, karena pada umumnya tidak banyak dokter yang memahami hukum. Jangankan memahami, tertarik atau perhatian pada hukum saja tidak. Bahwa hukum itu bertugas mengaur dan melindungi kepentingan manusia barangkali dipahami. Bahwa dokter menghendaki kepastian hukum akan perlindungan kepentingannya itu sadar betul. Akan tetapi sebaliknya  seperti orang kebanyakan pada umumnya, karena kurang pengetahuannya tentang hukum, tidak mau terlalu diikat peraturan-peraturan hukum. Jadi sebagian besar para dokter menghadapi suatu dilema: disatu sisi ingin perlindungan dan kepastian hukum, tetapi disisi lain tidak mau terlalu diikat oleh peraturan-peraturan.
            Kalau memahami hukum kiranya tidak perlu melihat sebagai suatu dilema. Perlu disadari bahwa hukum itu bertujuan mengatur tatanan masyarakat dan bertugas melindungi kepentingan manusia dan masyarakat serta menjamin kepastian hukum dan mengusahakan keseimbangan tatanan di dalam masyarakat. Melindungi kepentingan manusia dan masyarakat berarti menuntut dan mengharapkan pengorbanan dari anggota masyarakat.
            Dalam hubungan dokter-pasien kepentingan kedua belah pihak dilindungi oleh hukum.
            Hubungan dokter-pasien dikenal inspanningsverbintenis, yang berarti bahwa prestasi dokter tidak dilihat pada hasilnya (resultaatnya), tetapi yang dilihat adalah upaya atau usahanya untuk menyembuhkan itu sungguh-sungguh tidak. Kalau sudah berupaya keras untuk menyembuhkan, tetapi akhirnya tidak berhasil, maka hal itu tidak dapat dipertanggungjawabkan kepada dokter. Sebaliknya ada hak pada pasien yang perlu diperhatikan oleh dokter juga, yaitu right of selfdetermination, right of healthcare dan right of information.
            Dari segi hukum dokter dan pasien masing-masing mempunyai kedudukan yang sama, kedudukan yang sama dalam memperolarh hak atas perlindungan.
            Kesimpulan
            Kaedah itu bersifat dinamis, selalu berkembang. Jadi norma yang berkembang merupakan sumber hukum. Demikian pula etika sosial, yang merupakan kaedah juga, merupakan sumber hukum.
            Dalam hubungannya dengan hukum kesehatan norma yang berkembang dan etika sosialpun merupakan sumber hukum.
Yogyakarta, 5 April 1995
*Makalah disajikan dalam Seminar Nasional Hukum Kesehatan dan Malpraktek Di Indonesia pada 5 April 1995 di Fakultas Hukum Muhammadiyah Yogyakarta.
Diposkan oleh Prof. Dr. RM. Sudikno Mertokusumo, SH.
Sumber: http://sudiknoartikel.blogspot.com

Kamis, 11 Juni 2015

BERBAGAI KASUS PELANGGARAN HUKUM


 Kalian tentunya pernah mendengar   peristiwa pembunuhan, perampokan atau pemerkosan yang terjadi di suatu daerah. Kalian juga tentunya pernah melihat di televisi seorang pejabat Negara ditangkap karena melakukan korupsi. Nah, pembunuhan, perampokan, pemerkosaan dan korupsi merupakan sebagian contoh dari pelanggaran hukum. Apa sebenarnya pelanggaran hukum itu? Mengapa terjadi pelanggaran hukum?

   Pelanggaran hukum disebut juga perbuatan melawan hukum, yaitu tindakan seseorang yang tidak sesuai atau bertentangan dengan aturan-aturan yang berlaku. Dengan kata lain, pelanggaran hukum merupakan pengingkaran terhadap kewajiban-kewajiban yang telah ditetapkan oleh peraturan atau hukum yang berlaku, misalnya kasus pembunuhan merupakan pengingkaran terhadap kewajiban untuk menghormati hak hidup orang lain.

   Pelanggaran hukum merupakan bentuk ketidakpatuhan terhadap hukum. Ketidakpatuhan terhadap hukum dapat disebabkan oleh dua hal, yaitu: 

a. Pelanggaran hukum oleh pelaku pelanggaran sudah dianggap sebagai kebiasaan bahkan           kebutuhan; 

b. Hukum yang berlaku sudah tidak sesuai lagi dengan tuntutan kehidupan. 

   Saat ini kita sering melihat berbagai pelanggaran hukum banyak terjadi di negara ini. Hampir setiap hari kita mendapatkan informasi mengenai terjadinya tindakan melawan hukum baik yang dilakukan oleh masyarakat ataupun oleh aparat penegak hukum sendiri. Berikut ini contoh perilaku yang bertentangan dengan hukum yang dilakukan di lingkungan keluarga, sekolah, masyarakat, bangsa dan negara.

a. Dalam lingkungan keluarga, diantaranya: 

1) mengabaikan perintah orang tua;

2) mengganggu kakak atau adik yang sedang belajar;

3) ibadah tidak tepat waktu;

4) menonton tayangan yang tidak boleh ditonton oleh anak-anak;

5) nonton tv sampai larut malam;

6) bangun kesiangan.


b. Dalam lingkungan sekolah, diantaranya 

1) mencontek ketika ulangan;

2) datang ke sekolah terlambat;

3) bolos mengikuti pelajaran;

4) tidak memperhatikan penjelasan guru;

5) berpakaian tidak rapi dan tidak sesuai dengan yang ditentukan sekolah.


c. Dalam lingkungan masyarakat, diantaranya: 

1) mangkir dari tugas ronda malam;

2) tidak mengikuti kerja bakti dengan alasan yang tidak jelas;

3) main hakim sendiri;

4) mengkonsumsi obat-obat terlarang;

5) melakukan tindakan diskriminasi kepada orang lain;

6) melakukan perjudian;

7) membuang sampah sembarangan.


d. Dalam lingkungan bangsa dan negara, diantaranya: 

1) tidak memiliki KTP;

2) tidak memiliki SIM;

3) tidak mematuhi rambu-rambu lalu lintas;

4) melakukan tindak pidana seperti pembunuhan, perampokan, penggelapan, pengedaran uang palsu, pembajakan karya orang lain dan sebagainya;

5) melakukan aksi teror terhadap alat-alat kelengkapan negara;

6) tidak berpartisipasi pada kegiatan Pemilihan Umum;

7) merusak fasilitas negara dengan sengaja.


Info Kewarganegaraan 

Pelanggaran terhadap satu ketentuan hukum pada hakikatnya merupakan pelanggaran terhadap: 

1. Aturan agama 

2. Dasar negara 

3. Konstitusi negara 

4. Norma-norma sosial lainnya

ARTIKEL TENTANG KASUS PENEGAKAN HUKUM DI INDONESIA


Dilema Penegakan Hukum di Indonesia

Oleh: Mujahid A.Latief

DALAM sebuah panel diskusi bertajuk "Peluang Peradilan satu Atap dalam Membangun Profesioanlisme dan Integritas Hakim", Satjipto Rahardjo mengatakan perlu adanya rekonseptualisasi makna hukum - apa yang kita maknai hukum (what mean by law). Satjipto Rahardjo menilai dominasi pemahaman hukum yang terjadi saat ini cenderung legalistik - positifistik. Satjipto berkeyakinan bahwa hukum itu not only stated in the book tetapi juga hukum yang hidup di masyarakat (living law).
Reformasi yang telah berlangsung sejak tahun 1998 harus diakui telah melahirkan sejumlah perubahan instrumental, meski diakui juga bahwa perubahan tersebut masih banyak kelemahannya. Banyaknya kelemahan tersebut karena reformasi tidak punya paradigma dan visi yang jelas alias hanya tambal sulam, contohnya reformasi peradilan yang terwadahi dalam empat paket undang-undang yang berkaitan dengan peradilan hanya lebih banyak memfokuskan pada peradilan satu atap (Beny K. Harman).
Gambaran yang disampaikan oleh Beny K.Harman dan Satjipto tersebut bisa menjadi gambaran bagi kita semua dalam melihat wajah reformasi hukum Indonesia. Benar bahwa saat ini telah banyak aturan hukum yang mendorong kearah reformasi sebagaimana tuntutan masyarakat. Benar bahwa sudah banyak lembaga yang memiliki peran untuk memperbaiki sistem peradilan kita, sebut saja misalnya lahirnya KPK, Komisi Yudisial, Komisi Kejaksaan, Komisi Kepolisian, dan Timtastipikor.
Ekspektasi masyarakat terhadap lahirnya berbagai peraturan perundang-undangan baru dan lembaga baru tersebut sangat tinggi. Tetapi ekspektasi masyarakat seringkali tidak sejalan dengan realitas yang ada. Kita sering mendengar banyak tersangka koruptor tetapi akhirnya masyarakat juga kurang puas dengan putusan akhirnya. Mengapa sering terjadi hakim membebaskan terdakwa atau setidak-tidaknya hukumannya sangat ringan. Apakah sedemikian tajam perbedaan pemahaman fakta hukum di persidangan antara hakim dan Jaksa. Argumentasi hukum apa yang mereka pergunakan, adakah paradigma legalistik-posifistik semata yang dipergunakan ataukah ada unsur lain yang ikut mempengaruhi - adalah deretan pertanyaan publik yang belum ada akhirnya.
Lembaga peradilan sebagai institusi yang memiliki kekuasaan yang besar dalam menentukan arah penegakan hukum berada dalam posisi yang sentral dan selalu menjadi pusat perhatian masyarakat. Sayangnya kepercayaan masyarakat terhadap lembaga peradilan belum menunjukkan perbaikan yang signifikan. Bagaimana seharusnya agenda reformasi hukum khususnya pemberantasan korupsi dilakukan?
Seorang tokoh reformis China yang hidup sekitar abad 11 mengemukakan, ada dua unsur yang selalu muncul dalam pembicaraan masalah korupsi yaitu hukum yang lemah dan manusia yang tidak benar. Tidak mungkin menciptakan aparat yang bersih hanya semata-mata mendasarkan rule of law sebagai kekuatan pengontrol (social control). Ia berkesimpulan dalam memberantas korupsi dibutuhkan penguasa yang punya moral tinggi dan hukum yang rasional serta efisien (Mujahid:2000)
Dalam sejarahnya "upaya" pemberantasan korupsi sudah berlangsung sejak tahun 1958, yakni dengan lahirnya berbagai institusi dan peraturan perundang-undangan yang ditujukan untuk memberantas korupsi, akan tetapi korupsi di Indonesia selalu saja menempati urutan yang tinggi .
Seiring dengan tuntutan reformasi yang tuntutan paling penting adalah reformasi dibidang hukum, yang bermuara pada tuntutan agar pemberantasan korupsi, kolusi dan nepotisme yang sudah mewabah di Indonesia dapat dilakukan. Puncak dari tuntutan tersebut melahirkan instrumen hukum dalam rangka memberantas korupsi yang terlihat pada Tap MPR No. XI/MPR/1998 tentang Penyelenggara Negara Yang Bersih dan Bebas Korupsi, Kolusi dan Nepotisme. Tap MPR tersebut telah dijabarkan dalam peraturan perundang-undangan yang ada dibawahnya dan terakhir adalah lahirnya UU No.30/2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan berbagai instrumen hukum lain yang diarahkan untuk penegakan hukum.
Harus diakui kenyataannya sampai saat ini berbagai instrumen hukum yang ada belum menunjukkan hasil yang maksimal dalam pemberantasan korupsi. Korupsi tidak hanya merugikan keuangan Negara semata, akan tetapi telah melanggar hak asasi manusia dalam bidang sosial dan ekonomi. Kejahatan korupsi yang dikategorikan sebagai suatu kejahatan yang luar biasa (Extra Ordinary Crime) - penanganannya harus dilakukan dengan cara yang luar biasa dalam bingkai due process of law, tidak dilakukan dengan cara konvensional.
Pemberantasan korupsi tidak cukup dengan hanya mendasarkan instrumen hukum yang ada, akan tetapi harus didukung oleh kemauan politik yang kuat dari semua cabang kekuasaan Negara (eksekeutif, legislatife dan yudikatif). Tidak dapat dipungkiri korupsi terjadi berkaitan erat dengan penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power) oleh kekuatan politik seperti ungkapan Lord Acton power tend to corrupt and absolutely power tends to corrupt absolutely.
Dengan adanya intstrumen hukum yang sudah memadai saat ini, mestinya pemberantasaan KKN relatif lebih mudah. Hanya saja penyelesaiannya sangat tergantung pada political will. Pemberantasan korupsi hanya akan tercapai manakala kekuasaan politik dan penegak hukum dipegang oleh orang yang punya integritas dan keberanian. Berbagai kasus yang melibatkan pejabat publik yang tidak jelas ujungnya tidak saja melecehkan hukum akan tetapi menghina rasa keadilan masyarakat. Karena itu setiap aparat penegak hukum harus memiliki komitmen yang sama untuk memberantas korupsi, meminjam intilah Satjipto ketika seorang aparat penegak hukum menangani kasus korupsi dia tidak boleh datang dengan netral tetapi harus datang predesposisi tertentu dengan semangat untuk memberantas korupsi. Dengan demikian penegakan hukum akan menyentuh kepastian dan keadilan bagi masyarakat.

Sumber:http://adityanizer.blogspot.com/2012/04/artikel-tentang-kasus-penegakan-hukum.html